Selasa, 18 Oktober 2016

Aku Marah

Menjadi guru terutama di sekolah tentu ada tantangan tersendiri. Apalagi ketika belum menemukan metode yang pas dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Rasanya ketika akan masuk kelas terasa begitu berat meskipun ketika sudah berhadapan dengan siswa segala beban seolah tertinggal di luar kelas. Termasuk segala beban hidup. Eeaa :)

Namun bagaimana jika segalanya lepas kendali? Ini terjadi pagi ini, sejak kemarin rasanya begitu berat menghadapi kenyataan harus berangkat. Sekolah tempatku mengajar tiap senin, selasa, dan kamis pagi memang sering membuat tak nyaman karena beberapa hal. Pertama, terus terang ekspektasi gaji berbeda dengan kenyataan. Mungkin buat sebagian orang akan mempertanyakan keikhlasanku sebagai guru. Tapi buatku yang terbiasa dengan kehidupan guru sejak lahir menunjukkan penghargaan sekolah terhadap SDMnya dan keseriusan dalam mengelola sekolah. Namun kemudian toh aku tidak bisa mundur karena hal ini berhubungan panjang karena pengelola sekolah adalah teman abi. Jadi, ya tak apalah pikirku dulu. Toh, aku juga ada penghasilan lain.

Kedua, sarana yang tidak kondusif terutama kelas ikhwan. Kelas untuk ikhwan adalah rumah kontrakan petak kosong tanpa jendela. Siswa yang jumlahnya sekitar 17-30 akan sesak di dalamnya. Kipas angin yang tersedia tidak mampu membawa sejuk. Tetapi mereka sudah terbiasa tapi kondisi belajar sama sekali tidak kondusif. Tidak sedikit siswa mengantuk karena pasti mereka kekurangan oksigen. Rasanya ingin kubawa mereka belajar di luar kelas. Namun, jatahku hanya lima puluh menit untuk menyampaikan jubelan materi. Belum pengkondisian mereka habislah waktuku :"(

Lalu, ada apa pagi ini. Ya, aku naik pitam di kelas VIII B yang seluruh siswanya ikhwan. Mereka tak kunjung diam setelah kumasuk kelas. Ini sudah yg kesekian kalinya. Di awal sebelum pembukaan selalu kuingatkan jam pelajaran yang terbatas yamg membuatku membuat kebijakan menyelesaikan urusan di luar kelas lima menit awal. Setelahnya tidak ada izin apapun, peraturan ini baru beberapa minggu diberlakukan karena mereka sangat mudah untuk keluar masuk kelas bahkan tanpa izin membuat kelas yg singkat itu tidak kondusif.

Kelas tak kunjung diam bahkan setelah aku membuka dan mulai memanggil satu per satu untuk presensi. Aku mulai tak konsentrasi, aku pandangi mereka. Sebagian mereka sudah tidak lagi duduk di bangkunya. Kupandangi mereka, dalam  hati aku berteriak, "Nak, belajar itu kebutuhan kalian. Kita tidak tau apa yg menunggu kalian di masa yang akan datang. Di luar sana orang mempersiapkan diri untuk bersaing apa kalian siap menghadapi mereka?"

Aku putuskan untuk menunda menyampaikan materi dan menyiapkan simulasi kecil. Mereka diminta untuk duduk berjarak, memberi ruang untuk aku berkeliling kelas. Seluruh buku disimpan. Banyak mereka yang menyangka aku memberikan ulangan mendadak. Aku tersenyum simpul. Kemudian kukatakan dengar dan laksanakan intruksi karena hanya akan diucapkan dua kali. Sebelumnya kuminta mereka diam tanpa suara selama dua menit. Ternyata memang mereka benar tak bisa tanpa suara bahkan itu hanya dalam dua menit :(

Simulasi berlanjut, kuminta mereka mengeluarkan selembar kertas dan sebuah alat tulis kemudian kubacakan empat pertanyaan yang masing-masingnya dilerjakan dalam dua menit. Pertanyaannya adalah:
1. Bayangkan 10 tahun yang akan datang dan tuliskan seperti apa kalian saat itu.
2. Tuliskan 10 kelebihan kalian,
3. Tulis 10 kekurangan, dan
4. Tulis sepuluh usaha pertama kalian menjadi kalian 10 tahun yang akan datang.

Aku berkeliling kelas memperhatikan mereka menulis jawaban di setiap jeda pertanyaan. Dan, tentu kondisi tidak berubah makin banyak pertanyaan makin tidak kondusif. Di antara mereka bahkan ada yang bingung dan akhirnya tamoak tidak mengisi kertasnya. Ini yg membuatku akhirnya muntab. Bahkan kalian tidak mengenal diri kalian, tidak bisakah kalian sedikit saja memberikan kesempatan saya sebagai guru untuk membantu?

Suasana benar-benar kacau saat kertas dikumpulkan. Mereka tampaknya menganggap simulasi ini olok-olok. Semuanya lepas kendali. Aku mulai berteriak dan melepaskan apa yg tertahan sejak awal. Kesedihan berubah menjadi amarah yg tertahan. Mereka terdiam, namun rasanya hatiku sedih. Dada terasa begitu sesak. Kututup kelas dengan emosi yg tertahan kubeli segelas air kutenangkan diri. Namun perasaan tetap nyaman hingga kelas-kelas berikutnya.

Entahlah, sedikit ada penyesalan. Namun, kurasa itu harus kulakukan agar mereka terbangun akan kenyataan dunia. Berharap ini adalah marah terakhirku. Nak, dunia ini kejam. Kalian terbatas namun jangan kalian akhirnya buta akan kenyataan. Jika memang sukses yang kau kejar itu harus dengan tekad dan perjuangan.

Maafkan ustazah untuk hari ini :'(

Kota Wisata, 18 okt 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar